Penduduk dunia sekarang sedang menghadapi ancaman penyakit paling berbahaya yang dahulu pernah menghancurkan sebuah bangsa, seperti bangsa Romawi. Yaitu penyakit materialisme yang sekarang muncul dalam bentuk lebih canggih dan lebih mempesona. Di era teknologi digital seperti sekarang ini, penyebarannya lebih ganas dan super cepat. Mereka yang terjangkiti akan mengalami kematian nurani, keruntuhan moral dan kekeringan jiwa.[1]
Akibat pengaruh budaya materialisme yang kering dari nilai moral dan spiritual itu, sebagaimana Sayid Qutb menuliskan pengalamannya sewaktu di Amerika, membuat sikap dan gaya hidup manusia modern menjadi kaku, keras, egois dan masa bodoh. Bahkan karya arsitekturnya pun mencerminkan keangkuhan dan kekakuan.[2] Hati yang dipenuhi dengan ambisi materi membuat watak menjadi keras dan tutur kata pun menyakitkan. Canda dan lawakannya berupa umpatan, cacian dan makian. Semua itu bertentangan dengan adab dan akhlaq Islami. Karena seorang mukmin itu, kata Rasulullah Saw., “bukan pencela, bukan pengutuk, bukan pemaki, bukan pula pencaci.” [Hr. Turmuziy]
Membesarkan anak-anak di zaman sekarang, khususnya bagi umat Islam, menghadapi tantangan yang sangat berat. Walau pun manusia modern bisa menemukan mesin super canggih untuk meringankan gerak hidup mereka, namun mesin pencetak anak sholeh tidak akan pernah ditemukan. Sebaliknya mesin perusak mental sudah ditemukan dengan berbagai bentuknya: dari TV hingga internet... Cukup satu jam saja, anak-anak yang baik pun akan rusak mentalnya dengan diputarkan program-program media yang jorok.
Sebenarnya orang tualah mesin pencetak anak-anak sholeh itu. Sebab kualitas orang tua menentukan kualitas anak-anaknya. Seperti kata penyair: “Seorang anak tumbuh tergantung bagaimana orang tuanya * sebagaimana tumbuhnya pohon tergantung bagaimana bibitnya.[3] Seperti peribahasa mengatakan, “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Maka, seorang ayah bertanggung jawab untuk memberi contoh sebagai lelaki sholeh di depan anak-anaknya. Begitu juga seorang ibu. Kata Ahmad Syauqi, yang dijuluki amiirus syu’ara’ (pemimpin para penyair) dari Mesir, “Ibu adalah sekolahan, jika kau persiapkan ibu yang baik, berarti kau persiapkan sebuah bangsa yang mulia.”[4]
Orang tua itu ibarat mesin cuci bagi anak-anaknya. Ketika mereka pulang ke rumah dengan membawa “kotoran”, maka mesin cucinya adalah orang tuanya. Jangan biarkan ucapan dan perilaku buruk pada anak yang didapat dari pergaulannya di luar rumah bertahan lebih dari semalam. Ibarat kotoran yang telah berdaki, ucapan dan perilaku buruk yang telah mengendap pada diri anak akan susah untuk dihilangkan.
Kini, umat Islam tidak lagi dapat mengandalkan benteng moral dan akhlaq dari masyarakat. Benteng moral dan akhlaq terakhir yang dapat diharapkan adalah rumah kita sendiri. Benar, kata Syaikh Naser as-Samarkandiy menukil sebuah riwayat, “masuk rumah berarti masuk ke dalam kebaikan dan meninggalkan rumah berarti meninggalkan kebaikan.” Pertanyaannya, jika rumah seorang muslim sudah tidak lagi berfungsi sebagai benteng moral bagi keluarganya, lalu di mana lagi tempat yang steril untuk menjaga moral dan akhlaq bagi generasi umat ini??
Dalam kondisi masyarakat seperti ini, keluarga muslim lah benteng terakhir itu. Di sana diharapakan bisa menjadi sumber kebaikan buat keluarga dan masyarakatnya, sekaligus sebagai cermin moralitas umat yang ideal. Di sana ada sosok suami yang sholeh dan istri sholehah yang saling memahami hak dan kewajiban masing-masing; sosok anak sholeh-sholehah yang menghormati dan mencintai kedua orang tuannya dan di sana pula berhimpun pribadi-pribadi mulia yang mencerminkan gambaran nyata sebuah keluarga sakinah yang diberkati. Itulah keluarga dakwah, tempat pelatihan dan pembiasaan adab dan kesusilaan. Di sanalah akhlaq mulia dipupuk dan dikembangkan. Sebab, akhlaq mulia ibarat tanaman hias. Tidak bisa dibiarkan untuk tumbuh menjadi baik dan indah tanpa perawatan.
Syaikh Abul Hasan Ali al-Wawardi dalam Adabud Dunya wad Diin menulis, “jiwa manusia cenderung bersikap lalai dan santai, tidak bisa dengan sendirinya berakhlaq mulia tanpa melalui pembinaan adab (ta’dib)... Orang yang tidak pernah diberi pendidikan adab (moral) dan hanya diserahkan kepada akalnya semata-mata, atau dibiarkan menjadi baik dengan sendirinya, tidak mungkin bisa menyamai orang yang dididik moralnya dengan sungguh-sungguh... Karena, adab itu hanya diperoleh dengan pelatihan dan diperbaiki dengan pembiasaan… seandainya adab dapat dicapai hanya dengan akal, niscaya para nabi tidak perlu mengajarkan adab dan cukup dengan akal dari masing-masing orang. Padahal, untuk perbaikan adab (moral) itulah Rasulullah Saw. diutus. Kata beliau, “Hanyalah aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlaq.”[5]
Namun, ada anggapan bahwa perilaku dan adab manusia itu tidak dapat dirubah. Dan, Imam al-Ghozali tidak sependapat dengan anggapan itu: “Jika adab dan akhlaq manusia tidak dapat dirubah maka wasiat, nasehat dan pendidikan adab itu sia-sia belaka. Tentu Rasulullah Saw. pun tidak akan bersabda, “perbaikilah akhlaqmu!” Bagaimana hal itu tidak mungkin terjadi pada diri manusia, sedangkan pada binatang saja bisa terjadi. Seperti binatang buas dan kuda liar bisa dijinakkan.[6]
Lebih lanjut, al-Ghozali menulis, “kemuliaan akhlaq itu di samping merupakan anugerah dan rahmat Allah, juga bisa diperoleh melalui mujahadah (usaha keras) dan riyadhoh (disiplin latihan). Yakni, secara konsisten berusaha mengerjakan segala amal yang dapat menumbuhkan akhlaq mulia dalam diri. Misalnya, jika orang ingin memiliki sifat dermawan, maka hendaklah ia membiasakan diri untuk memberi dan berbagi… jika ia menjaga perbuatan itu walau pun sulit pada awalnya, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan (akhlaq) dan muncul begitu saja dari dirinya tanpa rasa berat. Hingga akhirnya menjadi kelezatan ketika melakukannya.”[7]
Pendidikan adab sebaiknya dilakukan sejak dini. Dan itu tidak berarti menghalangi perkembangan kreatifitas dan psikomotorik anak, seperti anggapan sebagian orang. Sehingga membiarkan anak-anak mereka bertingkah dan bertutur kata di luar batas-batas kesopanan. Dahulu para hukama’ berkata: “Bersegeralah mendidik anak-anakmu dengan adab dan kesantunan mumpung masih dini sebelum kesibukan menumpuk dan hati mereka penuh kekacauan.” Senada dengan itu seorang penyair menyatakan dalam bait-bait syairnya:
Dahan-dahan muda mudah diluruskan
Bila menjadi kayu sudah sulit dilakukan
Usia dini cocok untuk membina kelakuan
Terlanjur tua, adab sudah tidak mempan.[8]
Tidak diragukan lagi, hanya di dalam keluarga muslim yang menjujung dakwah proyek pembinaan adab dan moral generasi penerus umat ini dapat diwujudkan. Keluarga dakwah membangun keluarganya dengan keteladanan, membesarkan anak-anaknya dengan kelembutan dan kasih sayang serta mendidik mereka dengan adab dan akhlaq mulia, berdasarkan petunjuk al-Qur’an, sunnah Rasulnya dan contoh dari salafus sholih. Maka, keluarga dakwah adalah benteng terakhir moral umat ini.
Hamim Tohari
http://islamedia-online.blogspot.com/2010/12/mari-jadikan-rumah-kita-sebagai-rumah.html
Lets Talk About Hosting
3 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar